Suatu hari, seorang anak laki-laki berparas tampan, mengenakan seragam dari sekolah paling elit di seluruh kota, berjalan keluar dari mobil mewahnya seorang diri ke sebuah toko barang-barang elektronik. Ia melangkah masuk dengan mantap melewati pintu yang terbuka dengan otomatis. Tak lama kemudian, salah seorang karyawan toko tersebut menghampirinya.
“Ada yang bisa saya bantu?” tanya pelayan itu dengan sopan dan senyum yang tentunya tak akan pernah hilang. Anak laki-laki itu melirik ke arah karyawan tersebut dengan ekspresi yang datar dan berkata, “Aku ingin I-Pod yang merek terbaru, dan sebaiknya berikan padaku secepatnya sekarang juga sebelum aku berubah pikiran dan memilih menghabiskan uangku dengan berjalan-jalan ke luar negeri.”
Karyawan itu hanya ternganga mendengar ucapan anak laki-laki yang jelas-jelas lebih muda darinya itu. Tapi apa boleh buat, pelanggan adalah raja. Sesebal apapun ia pada anak itu, tetap saja ia harus menurutinya kan? Maka dengan gesit, karyawan itu segera mengambilkan I-Pod merek terbaru, termahal, dan berkualitas tinggi untuk kalangan atas.
Anak itu memperhatikan sejenak I-Pod yang dibawa oleh sang karyawan, dan tak kemudian, ia setuju untuk membelinya. Uang sejumlah lima juta rupiah pun jatuh ke tangan perusahaan elektronik itu. Anak laki-laki itu pun beranjak pergi meninggalkan toko elektronik tersebut.
Di lain tempat, seorang anak perempuan dengan rambut pendek sebahu, memiliki tubuh proporsional, dan berparas cantik nan anggun berjalan keluar dari sekolah yang sangat megah. Ia berjalan sambil menggantungkan earphone di lehernya. Seorang temannya menghampiri dan memilih untuk ikut berjalan hingga depan gerbang sekolah.
“Hey, jangan menunjukan barang-barang berhargamu ketika ada di depan umum. Bisa-bisa nanti ada yang rampok lho!” jelas temannya yang diketahui bernama Lucy. “Aku tidak akan apa-apa, lagipula, mana ada orang yang mau merampokku? Kau kan tahu sendiri, aku tak bisa hidup tanpa adanya earphone ini! Hahaha..” ucap anak perempuan yang bernama Heni itu.
“Kau ini... jangan begitu! Nanti malah benar-benar kejadian bagaimana?”
“Tidak akan... kau kan tahu, aku jago main karate! Pasti semua rampok itu akan langsung K.O! hahaha...”
“Huuuu, sombongnyaa! Hehehe...”
“Haha, sudah ya! Mobil jemputanku sudah menunggu tuh! Dah, Lucy!”
“Dadah! Hati-hati ya!”
“Hu’um!”
Maka Heni pun masuk ke dalam mobil jemputannya yang super megah itu dan beranjak pulang ke rumahnya.
Di dalam mobil, ternyata kakaknya yang menjemput, yaitu anak laki-laki yang tadi membeli I-Pod seharga lima juta. Ialah kembarannya, Beni.
Mereka berdua sangat mirip, namun sifat mereka berbeda jauh. Beni cenderung dingin, pendiam, dan sombong. Sedangkan Heni cenderung periang, mudah bergaul, namun sombong. Yah, setidaknya sama-sama memiliki sifat sombong. Bagaimana tidak? Mereka dilahirkan dari keluarga yang kaya raya, dan mereka juga sama-sama pecinta gadget, maka tak heran bila mereka jadi sombong akan kekayaan dan ilmu pengetahuan mereka tentang teknologi.
Heni merasa heran. Tumben sekali bukan supirnya alias Pak Ahmad yang menjemput. “Kak, kenapa bukan Pak Ahmad yang jemput?” tanya Heni. “Aku kebetulan habis beli I-Pod yang baru, jadi sekalian menjemputmu karena aku pulang lebih cepat hari ini..” jelas Beni dengan ekspresi yang lagi-lagi datar dan tetap fokus pada jalanan.
“Oh, begitu... memang I-Pod yang kemarin kemana kak?”
“Sudah rusak...”
“Bukankah baru seminggu yang lalu kakak membelinya?”
“I-Pod murahan pasti memang cepat rusak.. aku salah pilih..”
“Ah, itu pasti karena kakak mendengarkan musiknya musik yang keras-keras! Jadi I-Pod nya tidak kuat!”
“Mana ada I-Pod begitu? Dasar bodoh..”
“Huh, tidak perlu menyebutkan bodoh juga kan? Dasar payah...”
“Kau sendiri juga menyebutku payah..”
“Suka-suka dong!”
“Kalau begitu, aku juga sama!”
“Huh...”
Maka acara ‘pulang kembali ke rumah’ itu diwarnai dengan adu mulut antara si kembar ini.
*sesampainya di rumah....*
“Kami pulaaang!” sahut kedua anak kembar ini tepat di ambang pintu masuk rumah. Maka pembantunya pun datang menyambut, dan kemudian menyimpankan kedua tas milik mereka. Ayah dari si kembar ini, Pak Broto, datang menghampiri kedua anak kesayangannya itu. “Bagaimana sekolahnya?” tanya Pak Broto dengan seulas senyum. “Tenang aja, ayah! Kita belajar dengan sungguh-sungguh kok! Hehehe...” Heni menimpali.
“Baguslah... jadi itu berarti, kalian siap kan buat ulangan semester minggu depan?”
“Pasti ayah! Hihi...”
“Itu baru anak ayah...”
“Ya udah, sebaiknya sekarang aku segera ke kamar karena aku mau istira—“
“Tunggu!”
“Apa lagi ayah?”
“Sebenarnya, ada yang ingin ayah katakan...”
“Hm? Apa?”
“Begini, supaya kalian belajarnya lebih giat, ayah ingin kalian tidak menggunakan HP atau menggunakan alat-alat lain seperti I-Pod, earphone, mp3 player, laptop, pokoknya hal-hal yang akan merusak konsentrasi belajar kalian nanti!”
Beni dan Heni tercengang dan juga terbelalak. Hidup tanpa gadget mereka? Bagaimana jadinya?
“Ayah... ayah tidak bercanda kan? Ayah tahu sendiri kan, aku itu tidak bisa hidup kalau tidak ada earphone dan HP, ayah!!” Heni sukses memajukan bibirnya ke depan.
“Ayah, kalau ayah pikir ayah bisa mengambil gadget-gadget milikku dari tanganku, maka sebelum itu terjadi, aku sudah menyembunyikannya tepat di dalam loker sekolahku...” ujar Beni dengan tampang super dingin dan jutek.
“Tapi gadget itu malah mempengaruhi kegiatan belajar kalian ke arah yang buruk! Dan kalian tahu kenapa? Karena kalian masih belum bisa mengatur komposisi pemakaian gadget kalian itu!”
“Ya...ya...ya... dan ayah pikir kami peduli? Kami tak akan bisa belajar jika tak ada gadget kami, ayah! Please deh, ayah ngerti dong!” Heni mulai kesal.
“Jangan keras kepala ayah...” hanya itu yang diucapkan Beni, namun tetap dengan tampang dingin dan juteknya.“Keras kepala? Kalian lah yang keras kepala disini! Sudah! Tidak ada yang membantah! Pokoknya, malam ini adalah malam terakhir kalian ayah izinkan memakai alat-alat elektronik itu!” dan dengan kalimat menyakitkan itu, Pak Broto pun beranjak ke kamarnya.
Hening....
Beni dan Heni hanya saling bertatapan.
“Kakak..”
“Iya?”
“Tolong katakan padaku, bahwa ini bukan mimpi..”
“Ini bukan mimpi...”
“Aku... aku tidak percayaaaaa! Huwaaah! Hidup tanpa earphone dan laptop?! Aaaaah, aku ga bisa belajar nanti! Nanti aku malah uring-uringan! Dan bagaimana kalau aku malah sakit gara-gara terus-terusan nangis?! Aku malah nggak bisa ikut ulangan umum dong? Huwaaah, pokoknya aku ga rela gadget aku diambil!!”
“Kau pikir kau saja yang merasakan rasa sakit dan menderita? Aku juga sama... tapi bagaimana lagi, kita tak bisa membantah... tapi paling tidak, aku masih diijinkan membawa mobil.. haha...”
“Huh, kakak curang! Eh tapi paling tidak, uang jajanku juga tak dikurangi! Dan selain itu, masih ada komputer kan yang bisa dipakai bersenang-senang selain laptop? Hahaha, pintarnya aku!”
“Nah, itu berarti kita tak perlu khawatir kalau barang elektronik kita yang lain diambil.. iya kan?”
“Tepat! Ya udah, sekarang aku mau ke kamar! Gerah, pingin ganti baju!”
“Iya, sama nih! Huft...”
Heni dan Beni pun beranjak masuk ke kamar masing-masing dengan rencana dan persiapan mental yang mantap demi menghadapi hari-hari tanpa gadget mereka.
*esok harinya...*
Heni dan Beni terbangun bersamaan tepat pada jam enam pagi. Dan alangkah terkejutnya mereka saat mengetahui—
“GADGET KU HILAAAAAAAANG!!”
—tentu kita bisa menebak teriakan siapa itu. Ya, itu adalah teriakan dari si kembar pencinta gadget.
Seluruh pembantu, Pak Broto, juga Heni dan Beni beranjak keluar kamar dan berkumpul di ruang tengah. “Kenapa kalian ini?! Pagi-pagi sudah ribut!!” bentak Pak Broto karena acara minum kopi pagi-paginya terganggu.
“Ayah!! Ayah jadi serius ya ngambil gadget aku sama kakak?! Ayah tahu nggak?! Ayah tuh kejam banget!” Heni langsung nyerocos tak henti-hentinya. “Dengar ya, ini kan demi kebaikan kalian juga!” ucap Pak Broto.
“Sekarang coba ayah pikir..” Beni angkat bicara. “Jika aku dan Heni sampai stres gara-gara menjalani kegiatan tanpa gadget, lalu kemudian pada akhirnya kami sendiri juga tak bisa ikut ulangan umum bagaimana? Apa ayah mau bertanggung jawab?”
“Ah, lebay.. itu hanya alasan konyol kalian saja! Sudahlah, lebih baik sekarang kalian segera pergi ke sekolah!” ujar Pak Broto lalu kembali menikmati acara paginya, yaitu minum kopi.
“Ayah nyebelin...” gumam Beni dan Heni bersamaan, lalu pada akhirnya menuju kamar mandi untuk menyegarkan diri. Meskipun dengan sungut-sungut.
*skip time*sekolah Beni...*
Beni memasuki ruang kelasnya dengan tampang lebih dingin dan ditambah lagi lebih suram dari biasanya. “Menyebalkan...” gumam Beni sambil membanting tasnya ke meja dan duduk dengan kesal juga gelisah. “Hey bro!” sahabat Beni, yaitu Agung, menghampirinya. “Kenapa muka lo acak-acakan gitu, hah? Belum disetrika ya?”
“Bukan..”
“Ah, gue tahu! Pasti lo abis ditolak cewek! Iya kan?”
“Bukan..”
“Terus? Lo kenapa sih?” Agung memperhatikan Beni dari atas sampai bawah. Dan akhirnya ia menyadari satu hal. “Kemana I-Pod kesayangan lo?”
“Disita bokap..”
“Hah? Kok bisa?”
“Katanya sih, gue ga akan bener belajarnya kalau dengerin lagu di I-Pod terus, ditambah lagi.. minggu depan udah ulangan umum, katanya biar konsentrasi belajar gue meningkat, sementara I-Pod dan gadget gue yang lain disita...”
“Seriusan lo? Hahaha, kebayang deh, seorang penggila gadget kayak lo hidup tanpa gadgetnya! Haha, mati deh lo!”
“Iya.. sekarang aja gue ngerasa hidup gue suram banget...”
“Kasiaaan... hahaha!”
“Diem lo, ah! Bikin gue nambah badmood aja!”
“Haha, sorry! Bercanda! Ya udah, dari pada lo murung terus, mending sekarang kita ke kantin aja! Laper nih! Gadget disita, bukan berarti uang saku juga disita dong?”
“Iya iya.. ya udah ayo..”
Beni dan Agung pun beranjak pergi ke kantin. Sebenarnya, niat Agung itu baik lho. Ia ingin membuat perasaan sahabatnya ini lebih baik, namun ia tak mengatakannya secara terang-terangan.
*sekolah Heni...*
Tak jauh berbeda dengan Beni, Heni pun terpuruk dengan suramnya di kelas. Ia bingung harus melakukan apa, karena biasanya begitu sampai di kelas, ia langsung memainkan laptopnya sambil mendengarkan musik lewat earphone nya. Tapi tidak untuk pagi ini, hingga sampai selesai ulangan umum nanti. “Hidupku.... berakhir sudah..” Heni lemas tanpa gairah. “Heni?” sahabat Heni, Lucy, menghampirinya. “Kenapa?”
“Laptop, HP, earphone, semuanyaaaa...... disita sama ayahanda tercinta! Huwaaah!”
“Eh, jangan nangis!” Lucy berusaha menenangkan Heni sebisa mungkin. “Ya mungkin beliau melakukan ini semua juga untuk kebaikan kamu...”
“Iya, tapi ga harus dengan ngambil gadget-gadget aku dong! Dia kan tahu sendiri, aku sama kakakku itu ga bisa banget hidup kalau ga ada gadget! Itu tuh udah kayak separuh jiwa kami!”
“Cie elah, separuh jiwa! Emangnya Anang? Udah deh, mendingan sekarang kita ke perpus, kita belajar bareng! Bentar lagi kan ulangan umum, kita harus nambah ilmu ekstra! Hehehe..”
“Iya deh...”
Heni pun mengikuti Lucy menuju ke perpustakaan. Niat Lucy pun sama, yaitu untuk menenangkan perasaan sahabatnya ini.
*sepulang sekolah...*
Heni menunggu jemputannya seperti biasa di depan gerbang sekolah. Dan tak lama kemudian, mobil sport berwarna merah merekah berhenti tepat di hadapan Heni. Heni pun beranjak masuk ke dalam mobil itu.
“Oh, ya ampun! Kenapa kakak lagi yang bawa mobil?”
“Kenapa? Keberatan jika aku yang jemput? Kalau gitu turun sekarang, gih!”
“Bukan begitu, tapi kalau kakak terus yang jemput aku, buat apa dong kita punya supir?!”
“Supir itu kan tadinya juga cuma buat antar jemput ayah aja.. jadi wajar dong kalau aku terus yang jemput kamu... lagian aku juga mana mau jemput kamu kalau bukan ayah yang nyuruh...”
“Ya udah, udah.. oh iya, tadi kakak gimana?”
“Gimana apanya?”
“Di sekolah! Hidup tanpa gadget gitu lho!”
“Biasa aja..”
“Masa siiiih?”
“Iya.. kamu sendiri? Kamu tuh yang kakak khawatirin.. takutnya kamu malah nekat mau bunuh diri cuma gara-gara gadget udah nggak ada...”
“Nggak lah, aku nggak gitu banget... lagian, aku baru sadar, kalau ternyata bermain bersama teman yang lain juga jauh lebih menyenangkan daripada diem kelas sambil dengerin lagu di earphone seorang diri...”
“Ya, sama... aku juga baru sadar, kalau hang out bareng temen-temen lebih asyik daripada terus berkutat dengan I-Pod...”
“Ternyata bener ya... ayah memang melakukan semua ini untuk kebaikan kita.. agar kita nggak jadi kuper gara-gara terus-terusan temenan sama gadget! Hahaha...”
“Ya, dan jujur aja, biasanya kalau lagi belajar aku suka dengerin lagu pakai headset di kelas, makanya pelajaran yang dijelasin guru nggak pernah masuk.. tapi baru hari ini aku merasa bener-bener dapet begitu banyak ilmu tanpa headset..”
“Hu’um... ayah memang hebat! Hihi..”
“Hmm, gimana kalau sekarang kita makan siang di luar aja? Sekalian beliin makan siang buat ayah.. lumayan kan, sebagai tanda terima kasih! Hehe..”
“Setuju!”
Beni dan Heni pun segera menuju ke restoran paling mahal di kota.
*beberapa hari kemudian...*
Ulangan umum telah selesai. Dan saat pembagian rapor, percaya atau tidak, baik Beni maupun Heni mendapatkan peringkat pertama di kelas! Dan peringkat itu mereka dapatkan karena jerih payah mereka saat belajar yang tanpa ditemani gadget-gadget mereka!
Jadi itu memang membuktikan, bahwa gadget memiliki pengaruh dalam hidup remaja. Memberikan pengaruh positif atau negatif, itu tergantung bagaimana kita mengatur kapasitas pemakaian gadget itu sendiri. Benar tidak?
0 komentar:
Posting Komentar